Halo Sobat Jago! Masih di bulan Oktober yang biasa diperingati sebagai bulan untuk kesadaran mental internasional, bahasan artikel kali ini bakal membahas sesuatu yang menarik dan jarang disadari tapi banyak dirasakan oleh kaum millenial dan gen z. Apa ya kira-kira? Ada yang bisa nebak?
Sobat Jago pasti punya dong aplikasi WhatsApp di smartphone masing-masing? Nah ternyata ada ‘penyakit’ yang disebabkan oleh WhatsApp ini loh. Bukan, ini bukan cocoklogi aneh-aneh tapi emang berdasarkan fakta dari fenomena yang terjadi khususnya selama lockdown kemarin. ‘Penyakit’ ini semacam gejala psikologis yang membuat penderitanya merasa lelah karena WhatsApp.
Lelah karena WhatsApp? Hmmm,...apakah berarti WhatsApp membebani pundak pengguna aplikasi ini sehingga mereka merasa lelah? Ataukah WhatsApp membuat seseorang menjadi cepat tua sehingga mudah lelah? Eits, ternyata bukan itu Sob! Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai WhatsApp fatigue.
Ada yang pernah denger sebelumnya?
Jadi WhatsApp fatigue adalah kelelahan akibat terlalu banyak notifikasi pesan, yang seolah-olah menuntut untuk dibalas cepat karena kita selalu online. Yaaa macam kalau kamu sering liat doi online tapi gak pernah bales pesen kamu gitu lah (eh).
Kelelahan membuat kita menjadi bosan dengan dunia digital, yang berpotensi menimbulkan kecemasan yang tidak baik untuk kesehatan mental. Tau sendiri dong kalau selama 2 tahun kemarin karena adanya pandemi di hampir seluruh bagian dunia, semua kegiatan yang biasa dilakukan secara tatap muka diubah menjadi online dan menggunakan platform untuk berkomunikasi seperti WhatsApp untuk menggantikan interaksi yang biasa dilakukan secara offline.
Dengan 1,5 pengguna global dan 29 juta pesan terkirim setiap menit, membuat WhatsApp menjadi salah satu aplikasi pesan instan populer. Banyak banget kan arus lalu lintas perpesanan yang terjadi pada aplikasi ini. Gak heran kalau hanya dengan menerima pesan WhatsApp aja bisa bikin capek, meskipun saat pandemi kemarin mayoritas pekerja kantoran berkantor dari rumah alias WFH dan mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi dan mengerjakan tugas kantor harian tapi dengan intensitas pesan yang masuk ke dalam nomor WhatsApp kita terus menerus hal ini justru sangat mungkin menyebabkan kelelahan tadi alias WhatsApp fatigue.
Lantas, mengapa WhatsApp fatigue berpengaruh bagi kesehatan mental?
Mengutip Hyve, ada beberapa alasan mengapa WhatsApp fatigue menjadi fenomena umum yang berkaitan dengan kesehatan mental, diantaranya seperti yang Bang Jago rangkum di bawah ini,
*Artikel ini ditulis sebagai bagian untuk memperingati hari kesadaran kesehatan mental sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober
Sobat Jago mungkin familiar dengan pengelompokan kepribadian berupa extrovert dan introvert. Buat yang belum familiar, kepribadian ekstrovert adalah tipe kepribadian yang senang dengan keramaian dan menjadi pusat perhatian. Sementara itu, kebalikan dari tipe kepribadian ekstrovert, tipe kepribadian introvert adalah mereka yang lebih suka dengan area yang tenang dan menghindari keramaian.
Untuk tipe ekstrovert, bersosialisasi dengan teman, keluarga, sahabat merupakan sebuah obat yang mujarab untuk mengusir sepi dan mengurangi kecemasan. Namun, buat sebagian orang terutama yang bertipe introvert, notifikasi pesan yang terlalu banyak dan intens dapat membuat kelelahan. Apalagi semenjak pandemi, semua percakapan yang biasa dilakukan secara offline pindah menjadi online dan sudah bisa dipastikan grup WhatsApp yang berhubungan dengan kantor menjadi yang paling ramai notifikasinya.
Mau bales nanti-nanti aja tapi status masih online, kalau status dimatikan dianggap sulit untuk dihubungi. Hal-hal seperti ini yang akhirnya ikut serta memicu kelelahan akibat WhatsApp. Intensitas pesan yang masuk dan tuntutan untuk segera merespon dapat membuat sebagian besar orang merasa lelah.
Salah satu kekurangan berkomunikasi melalui media seperti WhatsApp adalah kita tidak bisa melihat ekspresi dan reaksi orang lain. Ya iya sih ada emoji dan GIF atau stiker untuk membantu memperjelas ekspresi yang kita rasakan ke penerima pesan, tapi kan tidak semua hal bisa ditambahkan emoji, GIF atau stiker.
Untuk grup-grup yang sifatnya formal seperti grup kantor, penggunaan emoji, GIF dan stiker bisa jadi justru dianggap sebagai bentuk ekspresi komunikasi yang kurang sopan sehingga otomatis perpesanan hanya dikirimkan dalam bentuk teks. Udah bukan rahasia umum kalau cuma membaca teks dari pesan WhatsApp, bisa menimbulkan multitafsir bagi penerimanya. Tidak mendengar suara, melihat ekspresi wajah, dan bahasa tubuh orang lain dapat menimbulkan salah tafsir.
Disadari atau tidak, ketika berkomunikasi dengan seseorang dan terlibat dalam sebuah pembicaraan yang intens, kita cenderung menebak-nebak seperti apa ekspresi yang sesungguhnya dari pengirim pesan tersebut. Hal ini tentunya akan melelahkan jika dilakukan terus menerus dan dalam waktu lama. Bukan tidak mungkin pesan yang tidak ada maksud untuk memarahi penerima pesan justru terkesan bahwa pengirim pesan sangat marah kepada penerimanya karena pilihan kata dan penempatan tanda baca yang kurang tepat. Namun hal ini adalah hal yang lazim terjadi di kalangan kita dan ini lah yang membuat WhatsApp fatigue terjadi.
Dalam dunia dengan teknologi yang kian canggih, maka kita pun berkembang mengharapkan perputaran komunikasi menjadi lebih instan. Akibatnya, kita juga merasa dituntut untuk harus memberikan tanggapan secara cepat terhadap pesan yang dikirimkan orang lain. Tanda centang biru pada WhatsApp menunjukkan pesan telah dibaca, tapi jika tidak dibalas langsung bisa menyebabkan perasaan cemas.
Siapa di sini yang suka bolak-balik buka WhatsApp ketika lihat pesan yang kita kirimkan ke klien sudah dibaca tapi tidak kunjung dibalas? Atau lihat si bos online dan lagi mengetik sesuatu tapi ditungguin gak muncul-muncul pesannya, eh giliran ditinggal langsung muncul pesannya? Kalau sekali dua kali sih masih oke, tapi kalau setiap hari selama seminggu dalam waktu dua tahun selalu seperti ini? Hmmm,... rasanya memang melelahkan sih.
Ditambah kita tidak bisa menghindari adanya bentuk interaksi yang kurang menyenangkan terjadi seperti perdebatan atau kesalahpahaman. Kalau sebelumnya masalah-masalah seperti itu bisa dilakukan secara face-to-face sehingga kita bisa melihat reaksi dan ekspresi lawan bicara, namun di saat teknologi sudah mengambil alih hampir seluruh aspek kehidupan disebabkan adanya pandemi, maka kita harus melewati tahapan komunikasi yang sulit seperti itu melalui perpesanan. Duh, kebayang dong kalau ketemu atasan yang demanding dan masih aktif chat di luar jam kerja, nge-chat ini itu soal kerjaan, dan di saat yang sama nuntut supaya segera dibalas pesannya?
Duh, bayanginnya aja udah bikin lelah ya (tapi ini terjadi di banyak orang, semoga Sobat Jago gak termasuk salah satu yang ngalamin ya).
Faktanya, kita telah ditambahkan ke banyak grup WhatsApp, termasuk keluarga, pekerjaan, teman, komunitas, dan lain-lain. Tapi entah karena kebanyakan grup atau kita emang sedang sibuk saat itu sehingga tidak semua pesan dari masing-masing grup bisa ditanggapi dengan cepat. Menjadi silent reader atau tidak terlihat dalam grup menjadi serba salah, karena membuat kita dianggap mengabaikan padahal selalu online.
Apalagi kalau tiba-tiba muncul mention di grup karena tidak aktif dalam diskusi atau semacamnya. Well, kalau diskusinya memang penting ada baiknya perlu menunjukan sikap aktif. Namun kadangkala ada juga diskusi yang sifatnya ringan, namun kita tidak begitu paham konteksnya sehingga memilih untuk tidak terlibat. Ada perasaan bersalah karena tidak ikut nimbrung seperti yang lain, dan menjadi silent reader.
Gimana? Pernah mengalami satu atau malah semua hal di atas Sobat Jago? Buat Sobat Jago yang saat ini masih WFH dan mengalami gejala-gejala WhatsApp fatigue, coba deh untuk menetapkan batasan untuk jam kerja. Yaa, WFH kan bukan berarti kerja 24 jam tanpa istirahat yang cukup. Toh, kalau kita masuk rumah sakit, yang merasakan badan kita dalam kondisi sakit ya hanya kita sendiri. Pihak kantor ‘hanya’ akan memberikan tunjangan berupa asuransi kesehatan BPJS. Usahakan untuk tidur yang cukup dan sediakan waktu untuk me-time.
Sesimpel duduk di teras sambil minum Hojicha Lychee Tea atau Pink Lemonade dari Jago Coffee juga udah cukup kok. Gak perlu susah-susah cari tempat ngopi terdekat, karena dengan download aplikasi Jago Coffee, Sobat jago bisa langsung didatengin sama Jago cart dan dibuatin produk pesenan Sobat Jago secara langsung sehingga lebih terjamin kesegarannya. Yuk cobain download aplikasinya sekarang juga.
Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai WhatsApp fatigue. Ada yang pernah denger sebelumnya?Jadi WhatsApp fatigue adalah kelelahan akibat terlalu banyak notifikasi pesan, yang seolah-olah menuntut untuk dibalas cepat karena kita selalu online. Yaaa macam kalau kamu sering liat doi online tapi gak pernah bales pesen kamu gitu lah (eh).
Halo Sobat Jago! Masih di bulan Oktober yang biasa diperingati sebagai bulan untuk kesadaran mental internasional, bahasan artikel kali ini bakal membahas sesuatu yang menarik dan jarang disadari tapi banyak dirasakan oleh kaum millenial dan gen z. Apa ya kira-kira? Ada yang bisa nebak?
Sobat Jago pasti punya dong aplikasi WhatsApp di smartphone masing-masing? Nah ternyata ada ‘penyakit’ yang disebabkan oleh WhatsApp ini loh. Bukan, ini bukan cocoklogi aneh-aneh tapi emang berdasarkan fakta dari fenomena yang terjadi khususnya selama lockdown kemarin. ‘Penyakit’ ini semacam gejala psikologis yang membuat penderitanya merasa lelah karena WhatsApp.
Lelah karena WhatsApp? Hmmm,...apakah berarti WhatsApp membebani pundak pengguna aplikasi ini sehingga mereka merasa lelah? Ataukah WhatsApp membuat seseorang menjadi cepat tua sehingga mudah lelah? Eits, ternyata bukan itu Sob! Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai WhatsApp fatigue.
Ada yang pernah denger sebelumnya?
Jadi WhatsApp fatigue adalah kelelahan akibat terlalu banyak notifikasi pesan, yang seolah-olah menuntut untuk dibalas cepat karena kita selalu online. Yaaa macam kalau kamu sering liat doi online tapi gak pernah bales pesen kamu gitu lah (eh).
Kelelahan membuat kita menjadi bosan dengan dunia digital, yang berpotensi menimbulkan kecemasan yang tidak baik untuk kesehatan mental. Tau sendiri dong kalau selama 2 tahun kemarin karena adanya pandemi di hampir seluruh bagian dunia, semua kegiatan yang biasa dilakukan secara tatap muka diubah menjadi online dan menggunakan platform untuk berkomunikasi seperti WhatsApp untuk menggantikan interaksi yang biasa dilakukan secara offline.
Dengan 1,5 pengguna global dan 29 juta pesan terkirim setiap menit, membuat WhatsApp menjadi salah satu aplikasi pesan instan populer. Banyak banget kan arus lalu lintas perpesanan yang terjadi pada aplikasi ini. Gak heran kalau hanya dengan menerima pesan WhatsApp aja bisa bikin capek, meskipun saat pandemi kemarin mayoritas pekerja kantoran berkantor dari rumah alias WFH dan mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi dan mengerjakan tugas kantor harian tapi dengan intensitas pesan yang masuk ke dalam nomor WhatsApp kita terus menerus hal ini justru sangat mungkin menyebabkan kelelahan tadi alias WhatsApp fatigue.
Lantas, mengapa WhatsApp fatigue berpengaruh bagi kesehatan mental?
Mengutip Hyve, ada beberapa alasan mengapa WhatsApp fatigue menjadi fenomena umum yang berkaitan dengan kesehatan mental, diantaranya seperti yang Bang Jago rangkum di bawah ini,
*Artikel ini ditulis sebagai bagian untuk memperingati hari kesadaran kesehatan mental sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober
Sobat Jago mungkin familiar dengan pengelompokan kepribadian berupa extrovert dan introvert. Buat yang belum familiar, kepribadian ekstrovert adalah tipe kepribadian yang senang dengan keramaian dan menjadi pusat perhatian. Sementara itu, kebalikan dari tipe kepribadian ekstrovert, tipe kepribadian introvert adalah mereka yang lebih suka dengan area yang tenang dan menghindari keramaian.
Untuk tipe ekstrovert, bersosialisasi dengan teman, keluarga, sahabat merupakan sebuah obat yang mujarab untuk mengusir sepi dan mengurangi kecemasan. Namun, buat sebagian orang terutama yang bertipe introvert, notifikasi pesan yang terlalu banyak dan intens dapat membuat kelelahan. Apalagi semenjak pandemi, semua percakapan yang biasa dilakukan secara offline pindah menjadi online dan sudah bisa dipastikan grup WhatsApp yang berhubungan dengan kantor menjadi yang paling ramai notifikasinya.
Mau bales nanti-nanti aja tapi status masih online, kalau status dimatikan dianggap sulit untuk dihubungi. Hal-hal seperti ini yang akhirnya ikut serta memicu kelelahan akibat WhatsApp. Intensitas pesan yang masuk dan tuntutan untuk segera merespon dapat membuat sebagian besar orang merasa lelah.
Salah satu kekurangan berkomunikasi melalui media seperti WhatsApp adalah kita tidak bisa melihat ekspresi dan reaksi orang lain. Ya iya sih ada emoji dan GIF atau stiker untuk membantu memperjelas ekspresi yang kita rasakan ke penerima pesan, tapi kan tidak semua hal bisa ditambahkan emoji, GIF atau stiker.
Untuk grup-grup yang sifatnya formal seperti grup kantor, penggunaan emoji, GIF dan stiker bisa jadi justru dianggap sebagai bentuk ekspresi komunikasi yang kurang sopan sehingga otomatis perpesanan hanya dikirimkan dalam bentuk teks. Udah bukan rahasia umum kalau cuma membaca teks dari pesan WhatsApp, bisa menimbulkan multitafsir bagi penerimanya. Tidak mendengar suara, melihat ekspresi wajah, dan bahasa tubuh orang lain dapat menimbulkan salah tafsir.
Disadari atau tidak, ketika berkomunikasi dengan seseorang dan terlibat dalam sebuah pembicaraan yang intens, kita cenderung menebak-nebak seperti apa ekspresi yang sesungguhnya dari pengirim pesan tersebut. Hal ini tentunya akan melelahkan jika dilakukan terus menerus dan dalam waktu lama. Bukan tidak mungkin pesan yang tidak ada maksud untuk memarahi penerima pesan justru terkesan bahwa pengirim pesan sangat marah kepada penerimanya karena pilihan kata dan penempatan tanda baca yang kurang tepat. Namun hal ini adalah hal yang lazim terjadi di kalangan kita dan ini lah yang membuat WhatsApp fatigue terjadi.
Dalam dunia dengan teknologi yang kian canggih, maka kita pun berkembang mengharapkan perputaran komunikasi menjadi lebih instan. Akibatnya, kita juga merasa dituntut untuk harus memberikan tanggapan secara cepat terhadap pesan yang dikirimkan orang lain. Tanda centang biru pada WhatsApp menunjukkan pesan telah dibaca, tapi jika tidak dibalas langsung bisa menyebabkan perasaan cemas.
Siapa di sini yang suka bolak-balik buka WhatsApp ketika lihat pesan yang kita kirimkan ke klien sudah dibaca tapi tidak kunjung dibalas? Atau lihat si bos online dan lagi mengetik sesuatu tapi ditungguin gak muncul-muncul pesannya, eh giliran ditinggal langsung muncul pesannya? Kalau sekali dua kali sih masih oke, tapi kalau setiap hari selama seminggu dalam waktu dua tahun selalu seperti ini? Hmmm,... rasanya memang melelahkan sih.
Ditambah kita tidak bisa menghindari adanya bentuk interaksi yang kurang menyenangkan terjadi seperti perdebatan atau kesalahpahaman. Kalau sebelumnya masalah-masalah seperti itu bisa dilakukan secara face-to-face sehingga kita bisa melihat reaksi dan ekspresi lawan bicara, namun di saat teknologi sudah mengambil alih hampir seluruh aspek kehidupan disebabkan adanya pandemi, maka kita harus melewati tahapan komunikasi yang sulit seperti itu melalui perpesanan. Duh, kebayang dong kalau ketemu atasan yang demanding dan masih aktif chat di luar jam kerja, nge-chat ini itu soal kerjaan, dan di saat yang sama nuntut supaya segera dibalas pesannya?
Duh, bayanginnya aja udah bikin lelah ya (tapi ini terjadi di banyak orang, semoga Sobat Jago gak termasuk salah satu yang ngalamin ya).
Faktanya, kita telah ditambahkan ke banyak grup WhatsApp, termasuk keluarga, pekerjaan, teman, komunitas, dan lain-lain. Tapi entah karena kebanyakan grup atau kita emang sedang sibuk saat itu sehingga tidak semua pesan dari masing-masing grup bisa ditanggapi dengan cepat. Menjadi silent reader atau tidak terlihat dalam grup menjadi serba salah, karena membuat kita dianggap mengabaikan padahal selalu online.
Apalagi kalau tiba-tiba muncul mention di grup karena tidak aktif dalam diskusi atau semacamnya. Well, kalau diskusinya memang penting ada baiknya perlu menunjukan sikap aktif. Namun kadangkala ada juga diskusi yang sifatnya ringan, namun kita tidak begitu paham konteksnya sehingga memilih untuk tidak terlibat. Ada perasaan bersalah karena tidak ikut nimbrung seperti yang lain, dan menjadi silent reader.
Gimana? Pernah mengalami satu atau malah semua hal di atas Sobat Jago? Buat Sobat Jago yang saat ini masih WFH dan mengalami gejala-gejala WhatsApp fatigue, coba deh untuk menetapkan batasan untuk jam kerja. Yaa, WFH kan bukan berarti kerja 24 jam tanpa istirahat yang cukup. Toh, kalau kita masuk rumah sakit, yang merasakan badan kita dalam kondisi sakit ya hanya kita sendiri. Pihak kantor ‘hanya’ akan memberikan tunjangan berupa asuransi kesehatan BPJS. Usahakan untuk tidur yang cukup dan sediakan waktu untuk me-time.
Sesimpel duduk di teras sambil minum Hojicha Lychee Tea atau Pink Lemonade dari Jago Coffee juga udah cukup kok. Gak perlu susah-susah cari tempat ngopi terdekat, karena dengan download aplikasi Jago Coffee, Sobat jago bisa langsung didatengin sama Jago cart dan dibuatin produk pesenan Sobat Jago secara langsung sehingga lebih terjamin kesegarannya. Yuk cobain download aplikasinya sekarang juga.
Receive the newest information & other fun stuff by subscribing our newsletter